Rabu, 26 November 2008






Wanita diciptakan dengan pundak yang kuat untuk mampu menanggung beragam beban. Wanita pun tercipta dengan sentuhannya yang lembut hingga mampu menciptakan kelembutan. Wanita diciptakan dengan perasaan yang indah hingga bisa membuat perubahan dalam kekuatan cinta dan kasih sayang.


Begitulah wanita, dalam setiap sepak terjangnya selalu menunjukkan kekuatannya sekalipun banyak orang bilang (terutama kaum laki-laki...maaf...jika ada pihak yang merasa tersinggung) kalau wanita "hanyalah makhluk lemah!" Padahal yang sebenarnya tidaklah seperti itu.
Banyak memang cerita yang mengedepankan wanita sebagai sosok tegar. Bayangkan saja dia harus bisa menjaga keutuhan rumahtangganya. Dia pun harus bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya dan istri yang baik suaminya. Dia pun harus selalu menjaga nama baik keluarga, baik keluarganya sendiri maupun keluarga suami. Tak jarang keistimewaan wanita itu menjadi kian rapuh manakala begitu saja wanita dieksposkan sebagai si melankolis yang tak bisa berpikir.
Sungguh jahat bukan jika wanita diibaratkan seperti itu. Justru yang terjadi sebenarnya adalah wanita sebagai sosok yang mampu menjadi kekuatan tersendiri untuk utuhnya sebuah keluarga dan cahaya yang tak pernah mati untuk keberhasilan sang suami di dalam menjalankan peranannya.
Aduh...aduh...kenapa aku jadi berbicara mengenai "wanita" ya?
Gak salah, sebab akupun adalah wanita. Sebagaimana kita tahu bersama, dari wanitalah kita bisa merasakan nafas dunia. Dengan wanitalah hidup ini bisa terasa lebih indah. Begitu sudah keajaiban tercipta karena tangan-tangan lembut wanita. Sudah terlalu banyak kemegahan terlihat karena pemikiran wanita. Konsep kesetaraan dalam berpikir pun nampaknya bukan lagi suatu hal yang harus diperdebatkan sebab begitu banyak kesuksesan tercipta karena peran serta wanita. Namun apa pun alasannya kodrat wanita tidak selayaknya terlupakan begitu saja. Apa arti dari sebuah kekuatan wanita jika pada pelaksanaannya tak nampak kekuatan kodratinya. Sebenarnya hal-hal klasik (maaf jika ada yang tidak sependapat dengan pendapat saya ini) seperti halnya kalimat yang pernah terucap dari mulut ibuku, "sepintar-pintarnya wanita, setinggi-tingginya wanita, jangan sampai dia melupakan fungsinya sebagai wanita." Pada awalnya pun saya sempat tidak sepaham dengan itu, namun selanjutnya setelah saya menjalani kehidupan ini dalam tiap lekuk kehidupan itu justru saya menemukan kebenaran akan pendapat tersebut. memang demikianlah adanya wanita. Dia harus lembut dalam menuai kata dan kalimat untuk sebuah keutuhan dan keharmonisan, dia pun bisa kuat saat masalah datang menghampiri, dia pun harus bisa menjadi si pendengar setia saat pasangannya berkeluh kesah, dia pun harus bisa menjadi pendongeng yang lucu saat meninabobokan sang anak, dia pun bisa menjadi penopang ekonomi saat kegoncangan melanda di kehidupan keluarganya.
Begitulah wanita...dia nampak lemah, namun dibalik semua itu dia memiliki kekuatan yang tak terhingga. Ibarat nyala lilin, dia bagaikan cahaya yang mampu memberi terang di kegelapan pada sebuah ruang yang teramat besar.



Sepenggal kisah dalam gerbong kereta!
(Suramnya perkeretaapian di Jakarta...)

Saya adalah satu dari sekian orang yang tengah “dimanjakan” oleh fasilitas pemerintah. Dimanjakan? Benarkah? Seharusnya memang “Ya” - tapi kenyataannya “Tidak”. Padahal saya (maaf bukan maksudnya menyombongkan diri) termasuk orang yang taat pada peraturan pemerintah (selalu membeli tiket).

Betapa tidak! Hampir tiga bulan ini saya melakukan perjalanan pulang pergi dengan menggunakan kereta api sebagai cara menghindari macet dan sampai kantor on time. Memang sich saya bisa menghindari keterlambatan, namun itu harus saya bayar dengan harga mahal. Saya harus berdesakan dengan banyak orang di dalam kereta yang bau dan pengap Belum lagi harus berhadapan dengan orang-orang iseng (saya pernah memiliki pengalaman yang memalukan, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berada di belakang saya, tiba-tiba saya merasakan suatu hal yang aneh terjadi. Masya Allah, dia menggesek-gesekkan kemaluannya. Saya tak tinggal diam, dengan beristighfar di dalam hati, saya lalu mencari jalan untuk menghindar. Dan Allah memberi jalan itu, saya bisa berpindah tempat), ternyata apa yang menimpa saya, pernah terjadi pula pada beberapa teman sesama penumpang). Karena itulah saya katakan tadi bahwa saya dan lainnya (pengguna jasa kereta api) seharusnya mendapatkan pelayanan yang nyaman, namun kenyataannya?

Saat masuk ke dalam gerbong, kita harus berlomba. Saling menyikut hingga bertabrakan bahkan ada yang jatuh menjadi pemandangan yang tak aneh lagi, bahkan mungkin hal seperti itu yang menjadi ciri khas bagi para pengguna jasa angkutan yang satu ini. Belum lagi setelah berhasil masuk gerbong, kita dihadapkan pada kondisi yang cukup mengenaskan. Penumpang berdesakan, bahkan tak jarang untuk bernafas saja begitu sulit, apalagi untuk bergerak atau melangkah. Herannya lagi (saya termasuk orang yang suka memperhatikan segala hal yang terjadi di depan saya) masih begitu banyak orang yang tak mengerti tentang segi-segi etika selama di perjalanan. Coba Anda bayangkan, seorang wanita hamil dengan keringatnya yang menetes dipeluh karena berjubelan demi bisa masuk ke dalam gerbong dibiarkan berdiri begitu saja, sementara di sampingnya begitu nyaman seorang laki-laki duduk. Saya sempat bertanya dalam hati, dimana letak rasa kemanusiaannya?

Payah! Begitu pernah saya melihat kondisi seperti itu. Apalagi jika dihubungkan dengan aturan Pemda DKI yang beberapa waktu lalu dikeluarkan mengenai larangan merokok di tempat umum. Saya geleng-geleng kepala melihat banyak orang di dalam kereta dengan asyiknya mengeluarkana asap yang jelas mengganggu kenyamanan orang lain. Lalu apa yang dilakukan petugas? Saya katakan dengan jujur, tak ada tindakan sekalipun petugas (kondektur KA dan satuan keamanan) bertemu dengan orang semacam itu.

Begitu banyak kenyataan menyedihkan yang saya temui baik selama di stasiun maupun selama berada di dalam gerbong KA. Pernah saat saya turun di Stasiun Senen, di depan mata kepala saya sendiri, saya melihat seorang tua bersama anak kecil (mungkin cucunya) terjatuh saat dia keluar. Saya tak bisa berbuat apa-apa, saya bersama yang lain hanya menjerit kaget. Yang saya tanyakan adalah kenapa ini bisa terjadi. Apakah karena si oang tua itu tak segera turun dari KA ataukah karena tidak adanya petugas yang memberitahu KA akan segera diberangkatkan kembali, dan itu tidak hanya terjadi sekali. Sudah berulangkali saya lihat. Ada penumpang yang masih nekat masuk KA padahal sudah mulai berjalan, sebaliknya ada pula penumpang yang dengan beraninya keluar dari KA padahal sudah berjalan pula. Apakah harga sebuah nyawa begitu rendahnya? Begitu pula penumpang yang memilih di tempat di atap KA. Sebenarnya jika saya kaji berdasarkan pengalaman saya selama saya menjadi penumpang KA

Tapi begitulah kondisi perkeretaapian di Jakarta. Mengapa sich ini terjadi pada KA degan tarif ekonomi? Namun jika berpatokan pada hal itu, akan timbul pula pertanyaan “apakah karena tarif ekonomi sehingga kenyamanan pun dipertaruhkan”. Benar juga jika ada pendapat yang mengatakan “kalau mau nyaman pakai yang mahal dong!” Senyaman apa sich sistem perkeretaapian yang sudah berjalan selama ini? Copet masih berkeliaran, penumpang gelap masih berdesakan, pelanggaran petugas masih sering saya lihat (petugas menerima uang dari penumpang di dalam gerbong/tidak ada tiket) padahal saya seringkali membaca aturan bahwa penumpang yang tidak bertiket harus mendapat tindakan. Kenyataannya? Saya tak akan menjawabnya, Anda pun bisa menebaknya bukan? Lalu apa fungsi petugas jika saat kita berdesakan masuk, mereka hanya melihat tanpa bertindak untuk mencegah terjadinya penumpang yang seenaknya sendiri berperilaku. Ke mana para petugas saat KA mau berangkat namun tak ada pemberitahuan hingga penumpang pun berlarian meanaiki gerbong,. Bukankah jika ada pemberitahuan itu penumpang sedikit tahu bahwa KA api akan segera berangkat?Bukankah dengan pelarangan menaikai KA saat sudah bergerak maju akan menghindari kecelakaan? Tapi sekali lagi, inilah potret kehidupan nyata di stasiun yang saya temui.
Lain hanya dengan para penumpang, saya juga cukup menaruh kepedihan. Masih banyak yang tak juga sadar akan keselamtan dirinya sendiri, begitu banyak orang yang tak mampu berperilaku sebagaimana layaknya manusia yang memiliki nilai-nilai etika dan kemanusiaan. Benar-benar sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua yang masih memiliki kekuatan untuk berpikir bahwa “sayalah manusia!”



Sepanjang Jatinegara

Jatinegara, sebuah kawasan di Jakarta Timur yang menghubungkan arah menuju Klender lalu Buaran yang kemudian tembus menuju Pondokopi hingga stasiun Cakung (duh…udah kayak kernet aja nivh…). Rute itulah yang saban hari saya lalui saat pulang kerja. Cukup jauh memang dan cukup mengeluarkan kesabaran saat macet apalagi di kala hujan turun. Bayangkan saja jalanan yang tidak terlalu luas ditambah trotoar yang penuh dengan penjual kaki lima, hingga menimbulkan ragam amsalah khususnya yang berkaitan dengan para pengguna jalan. Namun ada satu yang menarik perhatian saya, yaitu berjejernya gadis-gadis cantik sepanjang trotoar atau bahu jalan dari stasiun Jatinegara hingga kawasan Penjara Cipinang. Pemandangan seperti itu akan mulai terlihat selepas maghrib saat malam mulai menggerayangi kagat Jakarta.

Saya sempat geleng-eleng kepala saat memandang pemandangan di depan saya. Mereka, para gadis yang saya sebutkan tadi cukup menawan. Dengan hanya berdiri seolah menunggu mangsa (biasanya para lelaki berkendaraan motor), kemudian saat si pengendara motor yang melaju di jalanan nampak tak jauh dari posisinya berdiri, kedua tangan si gadis itu dengan serempak berbunyi alias bertepuk-tepuk sebagai tanda memanggilnya. Andai, dia, si pengendara motor itu laki-laki “nakal” berduit (pas-pasan pun nampaknya tak jadi masalah), tentunya akan merespon tepukannya tersebut, lalu mendekatkan kendaraannya hingga diparkir di samping si gaids tadi. Entah apa yang mereka lanjutkan, hanya saja kalau tidak “transaksi” apalagi yang mereka lakukan di malam gelap itu. Wallahualam….!

Cukup unik memang. Namun cukup mengiris dada juga. Bagaimana tidak? Mereka si pelaku itu bisa dikata sebagai wanita malam yang menjajakan diri itu hanyalah gadis-gadis yang baru beranjak remaja. Dengan mata kepala sendiri saya melihat mereka. Nampak segar, seksi walau hanya berbalutkan T-shirt pressbody dan celana pendek. Bergaya anak muda yang nampaknya sudah tidak sungkan lagi mempraktekan cara-cara demi beragam hal (demi ekonomi, demi kepuasan…).

Saya hanyalah salah seorang pelaku kehidupan di dunia ini yang tak mampu berbuat lebih demi menyelamatkan mereka. Saya hanya bisa membayangkan apa jadinya mereka nanti, di usia yang masih cukup belia itu mereka sudah dihadapkan pada dunia yang tidak semestinya mereka lakoni. Saya yakin mereka cukup memiliki alasan hingga mereka bisa senekad itu. Namun apa pun alasannya hal semacam itu tetaplah salah dan tidak boleh terjadi. Namun yang jadi pertanyaan saya, mengapa itu harus terjadi? Siapa yang patut disalahkan? Apakah orang tua yang tidak mampu mendidik mereka atau orang tua yang karena factor ekonomi hingga membiarkan si anak seperti itu? Sebaliknya, apakah ini karena si anak sendiri yang tak mampu bertahan dalam kehidupan atau mencari cara gampang mencari uang? Apakah karena memang Jakarta yang selalu memberikan kemolekannya hingga mampu mengundang siapa pun datang tanpa kemampuan (saat terdampar di Jakarta mereka baru sadar bahwa kemolekan Jakarta bisa ditebus dengan kemolekan tubuhnya). Bagaimana pemerintah sendiri, apakah sejauh ini sudah mampu bersikap dalam memperhatikan masalah semacam ini. Kurangnya kesempatan bekerja, hingga masih banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan hingga menimbulan keterbelakangan pendidikan bisa jadi menjadikan ini semua.

Wow…sungguh mata rantai yang tak akan pernah bisa terselesaikan dengan instant. Semua menuntut kebersamaan dan tanggungjawab dari beragam pihak. Individunya yang berakhlak tentunya akan berpikri bijak. Nah….apakah kita salah satu individu itu?





BANJIR :"Apakah SuRaTaN TaKDir JAKARTA?"

Ternyata kalau kita menengok kembali ke masa silam, masa di mana Jakarta masih dikenal dengan sebutan Batavia, banjir sudah bukan hal yang aneh. Berdasarkan riwayatnya, sejak tahun 1893 beberapa kawasan di Batavia dikabarkan tergenang air, seperti di Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan dan Kemayoran. Hal itu tidak hanya menimbulkan penderitaan akan banjir, lebih dari itu menciptakan lumpuhnya perekonomian hingga rusaknya jalan-jalan. Batavia yang belum mengenal jalan aspal harus bersedih karena menyaksikan jalanannya berubah menjadi sebuah kubangan.Hujan mampu merubah segalanya menjadi tak nyaman. Jalanan tertimbuni pepohonan, termasuk di Kwitang (gambaran pada tahun 1893), pohon asam yang berjejer di pinggiran jalan tumbnag hingga membuat terhambatnya perjalanan.

Banjir di Jakarta memang bukanlah hal yang aneh. Hampir setiap tahunnya Jakarta terkena bencana yang satu ini. Korban banyak berjatuhan hingga kucuran dana pemerintah mau tidak mau harus keluar juga, baik untuk menghadapi maupun untuk menanggulanginya.

Di tahun 1893 yang sudah saya paparkan tadi menjadi sejarah yang tak terlupakan. Banjir cukup parah melanda Batavia, di mana pada tahun yang sama pula diberitakan sebuah perahu nelayan Marunda terbalik di Muara Peca. Ikan hasil tangakapnnay lenyap, untungnya 3 orang nelayan sebagai awak perahu selamat setelah berenang mencapai daratan. Semua itu diakibatkan adanya badai besar yang melanda Jakarta sehingga ombak di teluk Jakarta menjadi begitu besar, tak ayal lagi bentengan yang tak jauh dari jembatan putar Tanjungpriuk pun runtuh terkena gamparan ombak.

Pada akhirnya Batavia terendam. Kampung Pluit (Floeit) Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pesayuran, Kebon Jeruk, Tangki Belakang, Tanah Seeal, Tanah Nyonya, Kampung Kepal, Tanah Tinggi, Kemayoran Sawah, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu tanpa tersisa tersendam air sedalam 1 meter, begitu pula dengan Pasar Ikan, air membanjiri dengna kedalaman 0,5 meter.

Berakhirnya musim hujan bukan berarti berakhir pula penderitaan hidup. Seabreg masalah hadir setelah itu. Datangnya musim kmearau ditandai dengan datangnya musim kebakaran walau frekuensinya tidak separah Jakarta sekarang ini. Tercatat pada tahun 1893, kebakaran besar terjadi di Mangga Besar hingga mampu mengundang Aisten Residen Stad en Voorsteden, KA. Scheneider datang ke tempat kejadian.

Begitulah sekilas mengenai banjir di Jakarta. Nampaknya menjadi masalah besar yang belum bisa teratasi hingga kini, sekalipun pemerintah begitu gencar mencari cara pennaggulangannya (seperti BKT alias Banjir Kanal Timur). Mudah-mudahan semua program penanggulangan banjir yang sedang digaalkan mampu meredam datangnya banjir namun sebaliknya kita tidak boleh terlena dengan semua itu, sebab apa pun alasannya segala hal yang ada atau yang tercipta bakalan menimbulkan masalah baru. Apakah adanya BKT tidak menghadirkan masalah baru? Wait and see! But i hope everything wana give a better for our life!